Menkum HAM Minta Hakim Maksimalkan Hukuman Koruptor

Metrobatam, Jakarta – Menkum HAM Yasonna Laoly meminta penuntutan dan pemidanaan koruptor diperberat. Namun setelah vonis, tanggung jawab pembinaan mereka ada di tangan Kemenkum HAM, termasuk dengan memberikan remisi.

“Di penuntutan, di pengadilan, lakukan pemberatan hukuman. Di situ persoalannya. Karena kalau di sini (pemberatan di dalam LP dengan memperketat remisi), sangat bertentangan dengan HAM,” kata Yasonna.

Hal itu disampaikan dalam focus group discussion (FGD) road map penegakan hukum yang digelar Kemenkum di Hotel Rancamaya, Bogor, Jumat (23/9) tengah malam. Hadir dalam pertemuan itu para pakar di bidangnya seperti Prof Yuliandri, Prof Hibnu Nugroho, Prof Adji Samekto, Zainal Arifin Moechtar dan Refly Harun.

“Kalau di sana (penuntutan dan pengadilan) tuntutlah yang tinggi, vonislah yang tinggi. Kita tidak akan ikut-ikutan. Kayaknya perlu Artidjo lagi ya..” ucap Yasonna disambut tawa forum.

Bacaan Lainnya

Yasonna meminta konsep penegakan hukum dilakukan sesuai filosofi hukum yang ada. Dalam konsep itu, penegakan hukum dimulai di penyidikan (prajudikasi), pengadilan (ajudikasi) dan pelaksanaan pidana (pemasyarakatan). Konsep penjeraan terhadap perang atas korupsi berada di wilayah penuntutan dan pengadilan. Tapi kalau sudah menjalani pemidanaan maka menjadi wilayah pembinaan untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat menjadi manusia yang baik.

Atas kasus yang mengemuka, maka Yasonna menilai cepatnya para terpidana korupsi karena penuntutan yang rendah dan ditambah dengan putusan hakim yang rendah pula. Sehingga mau tidak mau, masa pemidanaan menjadi sangat singkat. “Di AS, seorang hakim pasti tahu bahwa terpidana itu mendapatkan remisi,” ucap Yasonna.

Dalam proses penuntutan dan pengadilan, konsep justice collaborator sudah tepat. Sebab sabagai sarana ‘tawar menawar’ hukuman asalkan terdakwa bisa memberikan data pelaku kejahatan lain di kasusnya. Terdakwa bisa diberikan hukuman ringan apabila membuka teman-teman pelakunya, sebaliknya ia akan dihukum berat apabila terus bungkam.

“Justice Collaborator ada di proses penjeraan, diberikan saat dituntut dan diadili,” cetus Yasonna.

Dalam konsep hukum modern, penjeraan sudah selesai saat vonis dijatuhkan. Ketika terpidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan, maka menjadi kewenangan Kemenkum HAM untuk melakukan manajemen pembinaan terhadap nara pidana.

“Remisi itu tidak melanggar teori modern. Dalam teori modern, hukuman itu bukan untuk penjeraan. Seorang hakim mengerti kalau terdakwa diberi hukuman sekian maka akan dihitung-hitung didapatnya 1 tahun penjara, umpamanya. Hakim akan tahu itu,” papar Yasonna.

Namun pandangan itu dimentahkan oleh Mahfud MD. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyatakan pandangan hukum di atas bisa benar, tapi juga ada konsep hukum lain yang sama-sama benar pula. Paradigma satu, bisa dibantahkan oleh paradigma yang lain.

“Kita sudah pada satu komitmen bersama bahwa perang total terhadap kasus korupsi secara sungguh-sungguh, perlu cara cerdas bahkan keras. Dalil-dalil itu selalu ada. Paradigma itu adalah kesepakatan dalam memandang, maka akan ada paradigma lain,” cetus Mahfud.

Mahfud meminta Yasonna tidak menutup mata bahwa masih banyak vonis ringan kepada koruptor. Bahkan trend putusan pengadilan dari waktu ke waktu semakin turun. Dari rata-rata 2 tahun 6 bulan penjara, kini koruptor rata-rata hanya dihukum 2 tahun 1 bulan. Oleh sebab itu, LP juga harus ikut memerangi kejahatan korupsi dengan memperberat syarat remisi kepada koruptor.

“PP ini (pengetatan remisi) sudah diuji di Mahkamah Agung dan dikuatkan. Bahkan yang menguji tidak tanggung-tanggung, Prof Yusril Ihza Mahendra, orang yang dianggap sangat tahu tentang hukum,” ujar Mahfud.

Senada dengan Mahfud, Zainal menyoroti orang mudahnya pihak LP memberikan remisi sehingga publik merasa hal itu tidaklah adil. Perlu transparansi ke publik alasan pemberian remisi, mengapa seorang warga binaan bisa mendapatkan penyunatan hukuman.

Alasan di atas yang mendasari lahirnya PP 99/2012 yaitu pengetatan remisi diberikan kepada tiga narapidana yaitu: 1. Koruptor, 2. Narkotika ,3. Teroris

Ia mencontohkan jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun penjara. Bila digunakan aturan lama, maka penerima suap kasus BLBI itu bebas setelah 8 tahun menjalani pemidanaan. “Ada narapidana yang memberikan belajar ngaji di LP, lalu dapat remisi,” ucap Zainal.

Refli langsung sepakat dengan hal tersebut. Banyak proses pemasyarakatan di LP terhadap koruptor masih belum sesuai tujuan dan harapan.

“Sampai saat ini, kalau ditanya, itu Andi Mallarangeng mengakunya korban, tidak pernah mengakui perbuatannya. Akil Mochtar pun tidak pernah mengaku korupsi,” tutur Refli.(mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *