PBNU Sebut Mengucap Salam Agama Lain Simbol Toleransi, PKS Bukan Toleransi

Metrobatam, Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai pengucapan salam agama lain oleh pejabat muslim dalam pidato resmi adalah sebuah budaya, bukan penistaan atau melecehkan. PBNU menilai budaya itu sebagai bentuk persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathoniyyah.

Hal itu dikatakan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini merespon Majlis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyebut bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan sesuatu yang bidah, mengandung nilai syuhbat, dan patut dihindari oleh umat Islam.

“Sebagai salam kebangsaan yang tentu semua para tokoh atau pemimpin bermaksud untuk mempersatukan, sepanjang yang saya lihat dari berbagai forum tidak ada satu pun yang berniat menistakan, melecehkan, atau menodai,” kata Helmy lewat keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Minggu (10/11).

Helmy menyampaikan pengucapan salam agama lain sebagai hasil dari proses akulturasi. Hal itu juga dimaknai sebagai simbol toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, kata Helmy, masyarakat nonmuslim juga sering mengucap istilah dari agama Islam dalam keseharian, seperti alhamdulillah untuk bersyukur dan bismillah untuk mengawali kegiatan.

“Sepanjang seluruh yang diucapkan tidak bertentangan dengan niat, maka sepanjang itu pula kalimat yang menyatakan salam kebangsaan tersebut tidak akan mengganggu akidah dan teologi seseorang,” ujar Helmy.

Dia juga berpendapat para pemimpin tak sembarangan mengucap salam agama lain dalam forum resmi. Mereka hanya melakukan itu dalam forum yang dihadiri masyarakat lintas agama. Sementara dalam forum agama tertentu, ucapnya, para pemimpin tak akan mengucap salam agama lain.

Meski begitu, Helmy menghargai pendapat MUI yang menganggap salam agama lain bidah dan tak sesuai syariat agama. Ia meminta masyarakat saling menghargai pendapat terkait hal ini.

“Saya berharap kita hargai pendapat itu untuk kemudian tidak saling diperdebatkan, yang justru akan menimbulkan ketegangan,” tuturnya.

Sebelumnya, lewat surat yang ditandatangani Ketua KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin, MUI Jatim mengimbau umat Islam dan para pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain saat membuka acara resmi.

Pernyataan itu merupakan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Nusa Tenggara Barat, 11-13 Oktober 2019 lalu yang dituangkan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019.

“Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bidah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat, yang patut dihindari,” demikian penggalan bunyi surat tersebut, saat diterima CNNIndonesia.com, Minggu (10/11). (dhf/osc)

PKS Nilai Bukan Toleransi

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera merespons imbauan MUI Jawa Timur yang meminta umat Islam dan pejabat muslim untuk tidak mengucapkan salam agama lain dalam sebuah acara resmi.

Mardani mengatakan pengucapan salam agama lain oleh pejabat muslim dalam acara resmi tak bisa disebut sebagai sikap toleransi. Menurut Mardani, sikap toleransi tak serta merta bisa disangkutpautkan terhadap urusan agama.

“Toleransi tidak menyangkut urusan agama,” kata Mardani kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/11).

Hal itu berbeda dengan pernyataan PBNU yang menyebut pengucapan salam agama lain merupakan simbol toleransi.

Lebih jauh, Mardani memandang bahwa ajaran agama, termasuk dalam pengucapan salam, tak bisa dicampuradukkan dengan aspek lainnya. Karenanya dia menilai perlu dipelajari lebih dalam seruan MUI Jatim tersebut. Sebab MUI merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam fatwa keagamaan.

“Kita perlu dengan penuh kejernihan mempelajari dan mendengar apa yang menjadi dasar [pernyataan MUI],” kata dia.

Meski begitu, dia menyebut partainya tak bisa melarang semua pejabat publik untuk mengikuti imbauan MUI Jawa Timur menghindari mengucapkan salam agama lain dalam acara resmi. Ia menyerahkan keputusan itu pada kebijakan masing-masing kepala daerah.

“Diserahkan pada kebijakan masing-masing [pejabat publik],” ujar dia.

Sedangkan Wali Kota Malang Sutiaji berpendapat, itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing.

“Namanya imbauan itu. Ya, kembali kepada pribadi masing-masing,” kata Sutiaji kepada detikcom saat dihubungi detikcom, Senin (11/11/2019).

Menurut Sutiaji, ucapan selamat pagi dan salam sejahtera adalah milik semuanya. Kalimat itu bisa disampaikan ketika memulai untuk berpidato atau memberikan sambutan.

“Jadi bagi non muslim diharapkan tidak menyampaikan Assalamualaikum. Jika ada yang sampaikan sama, maka yang lain (non muslim) jangan menjawab. Lebih tepat untuk memakai selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, atau salam sejahtera. Karena itu milik semua,” ucap Sutiaji.

Sutiaji pun teringat, jika hal ini pernah disampaikan oleh Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

“Maka ini, kalau tidak salah ini mengulangi apa yang dulu pernah disampaikan oleh Gus Dur. Yang pada akhirnya, Assalamualaikum seperti Shobahul Khoir, selamat pagi itu kenyataannya sekarang,” tegasnya.

Dia pun berpikiran, imbauan MUI Jatim itu sama halnya menyoal apa yang pernah disampaikan oleh Gus Dur saat itu.

“Sekarang kan sudah tidak ada warga non muslim sampaikan Assalamualaikum, dan sekarang sudah tidak menjadi sakral lagi. Karena Assalamualaikum memiliki nilai kesakralan, karena dibaca warga muslim ketika menunaikan salat, yang merupakan bagian dari doa,” paparnya.

Sutiaji pun mengembalikan kepada masing-masing personal untuk mengikuti imbauan tersebut atau tidak. “Saya kira ini kembali para privasi masing-masing untuk diikuti atau tidak,” pungkas Sutiaji. (mb/cnn indonesia/detik)

Pos terkait