Penjual Cobek Tajudin Gugat UU Perdagangan Orang ke MK

Metrobatam, Jakarta – Seorang penjual cobek asal Padalarang, Jawa Barat, bernama Tajudin datang menyambangi gedung Mahkamah Konstitusi, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Rabu (5/7) siang ini.

Tujuannya mengikuti sidang pemeriksaan pendahuluan atas permohonan uji materi Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2017).

Permohonan uji materi tersebut ia ajukan karena kasus yang menimpanya pada April 2016 lalu. Saat itu, Polres Tangerang Selatan menangkap Tajudin atas tuduhan melakuan eksploitasi anak dengan mempekerjakan bocah di bawah umur.

Tajudin yang berasal dari Padalarang itu mengaku sudah lama hijrah ke Bintaro, Tangerang Selatan. Di daerah satelit ibu kota negara, DKI Jakarta tersebut, Tajudin berjualan cobek yaitu perabot dapur dari tahan liat guna mengulek bumbu yang dibawanya dari kampung halaman.

Bacaan Lainnya

Meski penghasilan yang ia peroleh dari berjualan cobek tidak seberapa, namun banyak warga asal kampung halamannya yang mengikuti jejak Tajudin berjualan cobek di Tangerang Selatan.

Di antara sejumlah rekannya itu, ada dua orang anak bernama Cepi Nurjaman (13) dan Dendi Darmawan (15). Keduanya adalah keponakan Tajudin.

Membawa Cepi dan Dendi itulah yang kemudian menjadi dasar kepolisian menuduh Tajudin melakukan tindak pidana karena telah “memaksa” dua anak di bawah umur untuk menjual cobek dan memberi setoran kepada dirinya.

Ia dituntut hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta karena dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat 1 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Tajudin terpaksa ‘menginap’ selama 9 bulan di dalam penjara selama proses peradilan berlangsung.

Walaupun pada akhirnya hakim Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Tajudin dari segala tuntutan, ia tetap tidak bisa tenang. Lantaran pihak kejaksaan masih mengajukan kasasi terhadap ayah dari tiga anak tersebut.

Selain itu, ia mengaku tak ingin ada lagi ‘Tajudin-Tajudin’ lain yang terperangkap pasal tersebut. Atas dasar itu Tajudin bersama tim kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Keadilan mengajukan gugatan pasal UU dimaksud ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah seorang kuasa hukum Tajudin, Abdul Hamim Jauzie, kliennya mengalami kerugian konstitusional dengan keberadaan Pasal 2 Ayat 1 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO tersebut. Itu, sambungnya, tampak saat frasa ‘untuk tujuan mengeksploitasi orang’ tak dimaknai dengan adanya unsur melawan hukum.

Mempekerjakan anak untuk menjual cobek, menurutnya, sudah menjadi sesuatu yang lumrah di kampung halaman Tajudin, di Padalarang, Jawa Barat.

“Di sana sudah melekat kebiasaan seperti itu, dan hal itu dinilai bukan hal yang membahayakan,” ujar Hamim.

Hamim menambahkan seharusnya negara juga memperhatikan kondisi anak-anak yang ikut bekerja. Dalam kasus Tajudin, anak yang bekerja menjual cobek tidak lagi bersekolah. Mereka menjual cobek bersama Tajudin karena ingin membantu orang tua.

“Sulit meyakinkan anak-anak itu untuk melanjutkan sekolah. Faktanya, setelah anak-anak kembali ke daerahnya, mereka kembali jual cobek,” ucap Hamim.

Oleh karena itu, menurut Hamim, MK perlu mempertegas apa yang dimaksud dengan tindakan eksploitasi terhadap orang lain.

Namun, dalam persidangan yang berlangsung siang tadi di MK, perhomonan gugatan yang diajukan Tajudin belum dipenuhi sepenuhnya oleh hakim MK.

“Hakim tidak akan pernah mengabulkan permohonan kalau karena mengadapi kasus konkret, akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum pada kasus-kasus lain yang mungkin muncul,” kata Hakim Manahan Situmpol di ruang sidang MK, Jakarta.

“Makanya, argumentasi saudara itu harus klir betul, menjelaskan bahwa apa yang dihadapi oleh Tajudin itu betul-betul kerugian konstitusional,” tambahnya.

Selain itu, tambah Manahan, persoalan eksploitasi yang saat ini dipermasalahkan pemohon tidak dirumusankan dalam Pasal 2 Ayat 1 UU 21/2017.

“Eksploitasi itu diletakkan di Pasal 1 Ayat 7. Kalau misalkan permohonan ini dikabulkan, sementara tidak ada koreksi untuk Pasal 1 Ayat 7, kan bisa jadi masalah juga,” katanya.

Untuk itu, di akhir persidangan perdana hari ini, majelis hakim meminta Tajudin dan kuasa hukumnya untuk menambah beberapa substansi dalam berkas permohonan mereka, hingga waktu dua pekan ke depan. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait