Penyebaran Hoax di Indonesia Mirip dengan yang Terjadi di Suriah

Metrobatam, Jakarta – Sistem dan cara provokasi kelompok penyebar hoax di Indonesia yang mengarah ke agama mirip dengan yang terjadi di Suriah. Untuk itu, masyarakat hendaknya tidak mudah terpancing jika mendapat kabar yang resesahkan.

“Jangan terpancing pada identitasnya, kejar hoaxnya lebih dahulu karena bisa dilakukan siapa saja. Karena kami sepenuhnya percaya tidak ada hoax yang baik, karena itu perlu dikejar betul sampai ujungnya dan hati-hati jangan terperangkap nama,” kata Pakar Komunikasi Politik, Effendi Ghazali di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/3).

Effendi berharap masyarakat cerdas dan tidak mudah terprovokasi dengan label agama yang menempel pada kelompok Muslim Cyber Army. Dia pun berharap polisi bisa adil menindak para pelaku yang berusaha memecah belah bangsa melalui hoax, apapun identitasnya.

“Kalau nama ini dikedepankan dengan nama ini kita dapat terpecah-belah belum sampai PR besar siapa di belakangnya. Kita berharap kepolisian kita selalu adil, kelompok manapun dari agama mana pun bisa dihadirkan seperti ini juga,” harap Effendi.

Bacaan Lainnya

Ia juga mengamini isu ini terkait dengan Pilkada dan Pilpres. “Kalau disinggung mengenai pilkada dan pilpres saya sependapat karena ini tahun politik. Maka tidak bisa tidak dalam konteks komunikasi politik,” ujarnya.

Effendi kemudian menyinggung tiga isu yang biasa digulirkan. Di antaranya soal investasi China, PKI, hingga ulama.

“Biasanya investasi China, kemudian apa kerugian bangsa dan ketidakadilan ekonomi dan lain-lain. Kedua isu kelompok-kelompok yang dianggap dekat dan ruang gerak terhadap organ tertentu seperti PKI dan lain-lain,” urainya.

“Ketiga siapa yang dekat dengan kelompok ulama. Mengkriminalisasi ulama bahkan menyerang. Ketidakadilan ekonomi ada banyak faktanya, bisa dikaitkan G-20,” imbuh Effendi.

Dia berpendapat soal isu PKI dan ulama lebih seksi, lantaran lebih mudah digoreng dan sulit dicari faktanya.

“Tapi bagian kedua dan ketiga ini siapa yang bergerak konten terlarang dan siapa yang lebih dekat dengan ulama lebih terbuka dieksplorasi karena fakta lebih tidak ada,” jelasnya.

Effendi juga menyoroti dari 45 isu penyerangan terhadap ulama di media sosial, hanya ada tiga yang benar-benar terjadi.

“Dari 45 ternyata faktanya cuma 3, jadi ini adalah bagian dari itu. Perang cyber dikaitkan Pilkada dan Pilpres,” sambungnya.

Effendi menduga ada tokoh politik di balik isu hoax yang meresahkan ini. Menurutnya banyak yang bisa mengambil keuntungan dari menyebarnya berita bohong tersebut.

“Saya setuju ada ketegasan. Kita memandang ada pemimpin atau elite politik yang tidak jelas posisinya. Secara normatif mendukung penyebaran hoax ini, tapi siapa tahu dengan pernyataan keras mengutuk siapa tahu dapat untungnya,” ujar Effendi.

Dia mengaku khawatir kasus hoax di Indonesia ini dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Suriah.

“Ketiga, siapa di belakangnya masih ditelusuri. Menjadi menarik, pernyataan dengan gunakan nama tertentu apalagi MCA ini sudah mengarah kepada lepas dari kelompok atau agama apapun ada pernyataan terang-terangan. Walaupun di sisi lain kita bisa mengatakan kalau tujuannya intelijen. Justru pakai nama itu sangat mencolok,” urainya.

“Kita menunggu betul Satgas Nusantara untuk menelusuri siapa yang ada di atasnya tanpa ragu. Kalau ketemu siapa di atasnya kita khawatir terhadap kalau orang banding-bandingkan Suriah, ada keterlibatan asing,” sambungnya.

Polri Janji Tindak Tokoh Politik

Kasatgas Nusantara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono mengatakan ada motif politik di balik maraknya isu penyerangan ulama yang terjadi sepanjang Februari 2018. Gatot menegaskan akan mengambil tindakan tegas bila medapati keterlibatan tokoh politik.

“Tentunya kami akan lakukan (tindakan tegas bila ada tokoh politik yang terlibat, red) itu. Saya sudah katakan tadi bahwa polisi itu melakukan penegakan itu yang berkeadilan, tidak berpihak pada kepentingan apapun. Apakah kepentingan perorangan, kepentingan politik atau lainnya,” kata Gatot.

Hal ini disampaikan jenderal bintang dua yang sehari-hari menjabat sebagai staf Ahli bidang Sosial dan Ekonomi Kapolri itu di gedung Rupatama, Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/3).

Gatot menjelaskan Satgas Nusantara baru bekerja sekitar dua pekan dengan hasil temuan keterlibatan kelompok eks Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA). Gatot menegaskan Satgas Nusantara akan terus mendalami temuan-temuan tersebut.

“Satgas ini kan baru bekerja lebih kurang dua minggu kan, kami sudah mendapatkan hasil yang tadi. Satgas ini tidak berhenti, kami sudah membentuk tim-tim dan akan mendalami hasil yang tadi untuk melihat yang terjadi di lapangan dan dunia maya,” ujar Gatot.

Saat ditanya kelompok politik yang diduga mendorong kegiatan eks Saracen dan MCA, Gatot mengaku belum mendapatkan temuan ke arah sana. “Sampai sekarang saya belum temukan (kelompok politik yang terindikasi) itu ya,” tutur Gatot.

Gatot menyatakan kelompok penyebar hoaks itu memiliki motif politik. Gatot mengatakan dengan menyebar isu penyerangan ulama, para kelompok penyebar hoax ini bermaksud untuk memecah belah masyarakat. Sehingga muncul keresahan di masyarakat yang berdampak pada pemerintahan.

“Dengan adanya hal ini akan muncul konflik sosial yang ganggu persatuan bangsa. Tentunya pemerintah dianggap tidak mampu kelola bangsa dan akan degradasi pemerintah sekarang. Apalagi sekarang tahun politik,” ujarnya.

Dari hasil pengusutan kasus, diketahui isu penyerangan ulama disebarkan selama Februari 2018. Dari 45 isu yang disebarkan, hanya ada 3 peristiwa yang nyata terjadi di lapangan.

Bareskrim Polri sendiri menangkap setidaknya 14 orang terkait penyebaran hoax penyerangan ulama oleh kelompok Muslim Cyber Army. Polisi menyatakan MCA memiliki keterkaitan dengan kelompok penyebaran hoax dan hate speech yang beberapa waktu lalu sudah diungkap, Saracen. (mb/detik)

Pos terkait