Pesan KPAI ke Ortu: Tak Tepat Suruh Anak Salat tapi Malah Asyik Nonton TV

Metrobatam, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berbicara tentang cara mendidik anak dalam melaksanakan ibadah salat. Menurut KPAI, tak tepat jika orang tua menyuruh anak untuk salat tapi si orang tua malah asyik menonton TV.

“Berikan contoh atau keteladanan yang baik bagi anak. Tentu tidak tepat jika orang tua menyuruh anak untuk salat tapi ortu masih asyik melihat TV dan bermedia sosial. Teladan adalah kunci sukses mendidik anak,” kata Ketua KPAI Susanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/4/2019) malam.

Hal itu disampaikan Susanto terkait momentum Isra Mikraj dan perintah salat lima waktu yang didapat Nabi Muhammad SAW saat peristiwa itu. Cara kedua untuk mendidik anak-anak salat adalah memberi nasihat yang baik dan logis sesuai fase perkembangannya.

“Berikan nasihat yang baik dan logis untuk anak sesuai fase perkembangannya. Setiap anak itu tumbuh dengan keunikan masing-masing, sehingga pola dan cara menasehati juga harus menyesuaikan dengan perkembangan yang dapat menyentuh psikologi setiap anak. Ketiga, hindari dengan pendekatan kekerasan. Sentuhlah dengan hati, ia akan berproses untuk membiasakan salat,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran Jakarta ini juga berbicara tentang penggunaan hadis untuk mendidik anak-anak melaksanakan salat. Hadis yang dimaksud ialah hadis Riwayat Abu Dawud dari Amr bib Syu’ab dari ayahnya, dari kakeknya yaitu: ‘Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat saat usia 7 tahun dan pukullah mereka saat usia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka’.

“Jika dikaji, akar utama sebagian kalangan memahami hadis memerintahkan pukul bagi anak, sejatinya terletak pada pemahaman terhadap kata ‘dharaba’. Dalam Lisan Al ‘Arabi, kata dharaba memiliki banyak makna di antaranya dimaknai seperti kata kharaja (ke luar), bahkan dimaknai sama seperti kata dzahaba (pergi), bahkan juga dimaknai sama seperti kata saro (berlalu/lewat/berjalan). Bahkan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 273 terdapat penggunaan kata dharaba, tetapi kata dharaba dalam ayat tersebut dimaknai ‘berusaha’,” ujar Susanto.

“Dengan demikian, kata dharaba memiliki ragam makna dan memiliki konteks masing-masing, sehingga tidak ditafsirkan secara tunggal. Rasulullah SAW menggunakan kata dharaba dalam konteks mengajarkan salat bersifat ‘levelitas’ dan dapat diartikan sebagai ‘usaha yang terus-menerus’, kesungguhan dan keteguhan agar anak mampu dan terbiasa melaksanakan salat dengan baik. Mengapa tidak dimaknai pemukulan? Jika dimaknai secara tunggal, selain tidak tepat, juga bertentangan dengan pribadi Rasulullah SAW dalam keseharian. Sangat banyak hadis lain menunjukkan Rasulullah lebih konsisten menempuh cara-cara kelembutan dan kasih sayang dalam mendidik anak. Inilah praktik perlindungan anak yang telah tumbuh di era Rasulullah SAW,” sambungnya.

Cara keempat adalah kontrol dan pengawasan yang terus-menerus terhadap anak. Dia menyarankan agar anak membiasakan dirinya disiplin dan bertanggung jawab dalam keseharian, termasuk pelaksanaan ibadah.

“Pastikan anak membiasakan diri untuk belajar bertanggung jawab dan disiplin setiap rangkaian kegiatan harian, baik belajar, salat, maupun bermain dengan teman sebayanya. Jadwal anak menjalankan salat tentu perlu dipantau dan dipastikan agar anak terbiasa melakukannya,” ucap Susanto.

“Dengan demikian, praktik baik dalam mendidik anak seperti ini perlu menjadi inspirasi bagi umat Islam agar era digital yang rentan dengan keterpaparan pengaruh dapat dicegah sedini mungkin melalui penguatan karakter keagamaan,” pungkasnya. (mb/detik)

Pos terkait