Protes Warga Palu untuk Festival Nomoni, Dianggap sebagai Penyebab Terjadinya Gempa Palu

Metrobata, Jakarta – Festival Palu Nomoni menjadi cibiran masyarakat pascabencana gempa dan tsunami menyapu Kota Palu dan sejumlah kawasan lainnya di Sulawesi Tengah, Jumat (28/9).

Sejumlah korban gempa menyuarakan kekecewaannya terhadap ritual balia yang dihadirkan dalam festival tersebut. Warga menganggap salah satu adat suku Kaili itu sebagai penyebab terjadinya gempa Palu. Beberapa di antara mereka menganggap ritual balia sebagai musyrik.

Salah satunya Iki, warga Kelurahan Lere, Palu Barat. Dia mengaku kecewa dengan ritual balia yang sudah lama punah, belakangan dihidupkan kembali dalam Festival Palu Nomoni di era kepemimpinan wali kota dan wakil wali kota, Hidayat-Sigit Said Purnomo alias Pasha Ungu.

Iki sedikit mempercayai bencana gempa dan tsunami yang melanda wilayah Sulteng disebabkan oleh ritual balia dalam Palu Nomoni.

Bacaan Lainnya

“Saya kecewa dan orang-orang juga pada bilang gara-gara itu (Palu Nomoni). Saya sendiri meski yakin ini musibah, tapi sedikit percaya juga sepertinya ini gara-gara Nomoni itu,” kata Iki saat ditemui di pinggir Pantai Mamboro, Palu Utara, beberapa waktu lalu (4/10).

Warga Palu lain, Mudar, senada dengan Iki. Dia mengatakan sejak diselenggarakan secara rutin setiap tahun mulai 2016, Palu Nomoni senantiasa menghadirkan peristiwa alam.

Pada 2016, lanjutnya, terjadi gempa di daerah Bora dan Sigi Biromaru. Kemudian, pada 2017, terjadi angin kencang dan hujan deras di Talise. Sedangkan pada 2018, terjadi gempa dan tsunami yang melanda tiga wilayah.

“Baru diadakan tiga kali dan selalu terjadi peristiwa ketika pembukaan Palu Nomoni,” ujar Mudar.

Festival Nomoni menyedot perhatian masyarakat persis ketika gempa Palu terjadi. Warga ketika itu berkumpul di Pantai Talise untuk menyaksikan pagelaran tersebut sebelum gempa dan tsunami meratakan kota.

Sejarah Ritual Balia

Ritual balia biasanya dilakukan oleh masyarakat adat yang percaya api dapat mengusir penyakit.

Tercatat ada sepuluh ritual yang harus dilakukan dalam prosesi balia yang terdiri atas ritual pompoura atau tala bala’a, ritual adat enje da’a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual manuru viata, ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga.

Berbagai ritual tersebut dapat memakan waktu hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung tingkat keparahan penyakit yang ingin diobati.

Prosesi dimulai dengan persiapan berbagai bahan upacara mulai dari dupa, keranda, buah-buahan, hingga hewan kurban seperti ayam, kambing, atau kerbau tergantung kasta sang penyelenggara prosesi.

Ketika persiapan rampung, pawang yang harus dibawakan oleh laki-laki mulai menyebut jampi dan mantra. Ia menyebutkan berbagai mantra untuk memanggil arwah dan memberikan sejumlah sesajian berbeda pada tiap prosesi yang diletakkan dekat dupa.

Tarian khas balia juga harus terus dilakukan menemani orang sakit yang diusung hingga acara puncak, penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban tersebut adalah simbol harapan kesungguhan atas kesembuhan.

Sejarawan dari Universitas Tadulako, Andriansyah Mahid, menjelaskan bahwa ritual balia kerap dilaksanakan sebelum agama Islam masuk ke Sulteng.

Menurutnya, ritual itu dilakukan karena masyarakat suku Kaili masih menganut animisme dan dinamisme kala itu sehingga masih percaya pada kekuatan roh nenek moyang.

“Setiap adakan sesuatu pasti harus ada sesajen, sama seperti masyarakat nusantara pada umumnya sebelum mengenal Islam,” kata Andriansyah kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (7/10).

Dia pun menuturkan, ritual balia diselenggarakan untuk mengharapkan perlindungan roh nenek moyang atau tempat yang dianggap keramat.

Menurutnya, ritual ini biasanya diselenggarakan ketika ditemukan warga atau masyarakat yang tak kunjung sembuh dari penyakit yang diderita atau penyakit karena gangguan kekuatan supranatural.

“Misalnya orang sakit enggak sembuh, ada penyakit dianggap gangguan supranatural, ya mereka adakan balia,” ucapnya.

Namun demikian, Andriansyah berkata, ritual balia mulai jarang dilaksanakan oleh warga suku Kaili. Dia berkata, masyarakat yang masih menjalankan ritual balia antara lain tinggal di daerah Balaroa, Donggala, dan Pantai Barat.

“Sudah sangat jarang balia sekarang, itu yang masih adakan orang yang tinggal di daerah pinggiran masyarakat tradisional, terutama kalangan orang tua. Pelaksanaan sudah jarang,” tuturnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait