Rajin Tebar Ancaman, Namun Freeport Emoh Hengkang dari Indonesia

Tambang Freeport

Metrobatam, Jakarta – Freeport McMoran Cooper & Gold Inc., menegaskan tak akan hengkang begitu saja dari Indonesia meski anak usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), PT Freeport Indonesia (PTFI) didera berbagai ketidaksepahaman dengan pemerintah Indonesia, terkait kepastian hukum usaha.

Chief Executive Freeport McMoran Richard Adkerson mengatakan, perusahaan yang beroperasi di kawasan tambang Grasberg, Papua itu sangat berkomtimen untuk menyumbang pasokan konsentrat ke dunia dan meningkatkan perekonomian Indonesia, khususnya Provinsi Papua.

“Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumber daya yang penting bagi Freeport, juga penting bagi pemerintah, dan sangat penting bagi Papua,” ujar Adkerson saat konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).

Menurutnya, hubungan bisnis antara PTFI dan pemerintah serta masyarakat Papua yang telah berjalan puluhan tahun telah memberikan segudang manfaat untuk semua pihak sehingga sangat sayang bila harus berakhir hanya karena sulitnya menemukan titik temu dari kedua pihak.

Bacaan Lainnya

Ia mengklaim, sejak 1992 hingga saat ini, PTFI telah berkontribusi lebih dari US$60 miliar atau sekitar 0,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kemudian, dalam lima tahun terakhir, PTFI telah memberi keuntungan langsung kepada pemerintah sebesar US$2,8 miliar, memberi gaji kepada karyawan yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI), pembelian domestik, dan reinvestasi dengan total sebesar US$16 miliar.

Bahkan, catatan terakhir di 2015 lalu, PTFI mengklaim telah mengalirkan manfaat langsung kepada pemerintah sebesar US$368 juta melalui pembayaran pajak, dividen, bea, dan pembayaran lainnya. Selain itu, PTFI juga memberi manfaat tidak langsung mencapai US$3 miliar dari pembayaran gaji, pembelian dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri.

Lebih lanjut, bila hubungan bisnis antara pemerintah dan PTFI dapat terus langgeng, sejak status Kontrak Karya (KK) berlaku pada 1991 hingga 2041, diperkirakan sumbangan PTFI yang dibayarkan kepada pemerintah dapat mencapai US$43 miliar (dengan ketentuan harga tembaga rata-rata US$3 per pound dan harga emas rata-rata US$1.200 per ounce).

Tak hanya itu, Freeport mengklaim telah menyerap 12.085 pekerja dengan komposisi 35,76 persennya atau 4.321 pekerja berasal dari Papua dan selebihnya 62,98 persen atau 7.612 pekerja dari luar Papua, yakni daerah-daerah lain di Indonesia. Pasalnya, hanya 1,26 persen tenaga kerja PTFI diisi oleh asing.

“Freeport berkontribusi sekitar 90 persen kegiatan ekonomi di Mimika, satu per tiga kegiatan perekonomian di Papua,” imbuh Adkerson.

Sementara, keuntungan dari PTFI berupaya dividen yang didapat oleh Freeport-McMoran sebesar US$10,8 miliar.

Menunggu Pemerintah
Adkerson menyebutkan, Freeport tetap menunggu itikad baik pemerintah bersama PTFI untuk menyelesaikan perundingan kembali dan menelurkan butir-butir kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Ia bahkan menegaskan, perusahaan tak memiliki niat hengkang sekalipun gagal mendapatkan kesepakatan dalam 120 hari ke depan dan terpaksa mencari keadilan ke jalur peradilan luar negeri atau arbitrase dengan menggugat sikap inkonsisten pemerintah Indonesia terhadap aturan yang dibuatnya sendiri, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

“Yang kami butuh adalah mencari solusi untuk kerja sama dan kami berkomitmen tetap bekerjasama dengan pemerintah,” yakin Adkerson.

Rajin Tebar Ancaman, Namun Freeport Emoh Hengkang dari RITambang Freeport di Papua. (Dok. PT Freeport Indonesia)

Seperti diketahui, hubungan PTFI dan pemerintah kembali kisruh sejak habisnya masa izin ekspor PTFI pada 12 Januari lalu. Sejak saat itu, PTFI tak dapat melakukan ekspor dan pemerintah memutuskan untuk mengubah aturan izin ekspor, yakni perusahaan harus mengubah status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu, pemerintah juga mewajibkan PTFI untuk melepas saham atau divestasi sebesar 51 persen kepada pemerintah.

Masalah PTFI dan pemerintah kian pelik saat PTFI tak setuju dengan aturan hukum dan fiskal dari pemerintah dalam IUPK, yakni pajak yang berubah-ubah sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku (prevailing) padahal sebelumnya PTFI dikenakan pajak yang tetap hingga habis masa kontrak (nail down). (mb/cnn indonesia)

Pos terkait