Romantisnya Surat – surat Cinta Bung Tomo-Sulistina

Metrobatam, Surabaya – Lies, begitulah sapaan akrab untuk Sulistina Sutomo, istri Pahlawan Nasional Bung Tomo, yang telah menghembuskan nafas terakhirnya, Rabu (31/8) dini hari.

Lies pergi menyusul sang suami tercinta yang telah lebih dulu meninggalkannya. Meski raga telah tiada, namun nama istri pejuang ini tersimpan rapat di hati warga Surabaya. Semangat perjuangan Bung Tomo saat memerdekakan republik ini, tidak lepas dari sosok Lies yang setia menemaninya. Semangat itu terus ada pada diri Lies hingga usia senjanya.

Kisah heroik masa lalu terpatri dalam diri Lies bersama kenangan indah dan romantis bersama Sutomo atau yang dikenal Bung Tomo. Di usia senja sebelum ajal menjemput, ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu ini menyibukkan hari-harinya dengan berkebun dan menulis di kediamannya di kawasan Kota Wisata, Cibubur, Bogor.

Salah satu karya yang cukup romantis dari almarhumah Lies adalah buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan”. Buku itu adalah hasil kumpulan surat-surat Bung Tomo yang dikumpulkan Sulistina selama puluhan tahun.

Bacaan Lainnya

Salah seorang jurnalis di Surabaya, Hany Akasah mengaku kagum dengan sosok Sulistina ini. Bahkan Hany sempat membuat catatan khusus di blog pribadinya pada saat ia ngobrol dengan Lies beberapa waktu lalu saat berada di Surabaya.

“Pasangan suami istri Bung Tomo dan Lies adalah pasangan romantis. Bahkan semboyan ‘tresno jalaran soko kulino’ pun sukses dilakukan Bung Tomo yang menikahi Lies di Malang pada tahun 1947,” katanya.

Awal Pertemuan
Ia mengatakan awal pertemuan Lies dengan Bung Tomo pada tahun 1945, saat Lies bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI). Lies dari Malang dikirim khusus ke Surabaya untuk merawat para pejuang yang gugur dan terluka dalam peristiwa bersejarah 10 November.

Di Surabaya itulah Lies kenal Bung Tomo. Lies cukup salah tingkah dengan gerak-gerik pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya yang saat itu sudah menjadi idola rakyat. Bung Tomo selalu cari perhatian ketika Lies bekerja merawat para pejuang yang terluka di tenda-tenda pertolongan.

Perjuangan Bung Tomo menaklukkan istrinya tak berhenti ketika itu saja. Bung Tomo terus merajut romantismenya dalam setiap surat-surat yang dikirim ketika bertugas keluar kota. Sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis.

Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan. Karena merasa surat-surat yang jumlahnya ratusan itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya pada 2006.

Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku untuk mengungkapkan cintanya kepada Bung Tomo. Bahkan Lies mengumpulan sajak-sajak Bung Tomo. Lies telah melahirkan empat buku, buku pertama berisi kumpulan karangan Bung Tomo, kedua berjudul Bung Tomo, Suamiku (Pustaka Sinar Harapan, 1995); ketiga, Bung Tomo Vokalis DPR 1956-1959 (Yayasan Bung Tomo, 1998), keempat Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan.

Terus Merindukannya
Bung Tomo juga sering berpesan kepada Lies melalui suratnya supaya terus merindukannya. “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran Bahasa Inggris kita, ensuccess,” begitu isi surat Bung Tomo. Panggilan “Tiengke” atau sayang juga diberikan kepada Lies.

Kata itu selalu menghiasi kop surat yang dikirim Bung Tomo kepada Lies. Rajin Menulis Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.

Bung Tomo sibuk dengan tugasnya. Tak heran, ketika pulang Bung Tomo selalu memanjakan istrinya itu. Ketika berdua dan anak-anak tidak ada, Bung Tomo sering menarik tangan Lies, lalu berdansa. Cinta yang ditanam Bung Tomo selama bertahun-tahun sungguh merasuk ke relung jiwa Lies. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu.

Ketika meninggal pada tahun 1981 di Mekkah, berkali-kali Lies bermimpi dipeluk Bung Tomo yang menggunakan baju biru. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Lies tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.

Salah satu surat yang termuat dalam buku keempatnya, Lies menulis:. “Untuk Suamiku, kemarin tanggal 18 Desember 2004 saya telah menghadiri peluncuran buku Tarbawi dengan anak kita Bambang Sulistomo. Saya telah tertarik dengan surat undangannya, karena di situ tercantum nama Mas Tom.

Meskipun saya masih sakit, karena tangan saya yang kiri masih dalam gedongan, saya perlukan datang. Saya waktu itu sedang pulang dari salat Idul Adha, jatuh di tengah jalan dan tangan saya yang kiri patah,” begitulah cuplikan suratnya.

Lies sempat mengatakan ada ajaran Bung Tomo yang sering didengungkan kepada keluarga dan masyarakat waktu itu yakni jujur dan berjuang. “Jika kita jujur, sehingga tidak merugikan orang lain, sehingga bisa memakmurkan orang lain,” kata Hany menirukan perkataan Lies saat itu.(mb/okezone)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *