Saracen: Bisnis Hoax Hancurkan Lawan Politik

Metrobatam, Jakarta – Penangkapan sindikat penyebar hoax di internet, Saracen, diprediksi tidak akan menghentikan penyebaran hoax. Grup-grup seperti Saracen akan bermunculan, terutama menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2018, dan pemilihan umum 2019.

“Saracen ini alat politik,” kata pengamat politik Arbi Sanit kepada CNNIndonesia.com, Minggu (27/8).

Arbi mengatakan, salah satu tujuan grup-grup penyebar hoax adalah untuk memfitnah atau menjatuhkan calon presiden yang akan bertarung pada Pemilu 2019.

“Mungkin ini lawan politik Jokowi yang memainkannya. Saracen dan akun-akun sejenis harus diberantas untuk menghindari permainan politik,” kata Arbi.

Bacaan Lainnya

Polisi menangkap tiga orang tiga orang pengelola Saracen, yakni JAS (32), MFT (43), dan SRN (32), di tiga lokasi berbeda, Rabu (23/8). Saracen memiliki 800.000 akun di media sosial untuk menyebarkan hoax dan konten-konten berisi ujaran kebencian.

Saracen menawarkan jasa kepada sejumlah klien, dengan tarif hingga puluhan juta rupiah.

Menurut pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan, untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian dan hoax perlu ada edukasi literasi kepada masyarakat luas, khususnya para imigran digital.

Imigran digital yang dimaksud Firman adalah kelompok masyarakat yang lahir sebelum kemunculan era teknologi digital.

Berbeda dengan generasi Y (kelahiran 1981-1995) atau generasi millenial (kelahiran 1995 ke atas) yang lahir ketika medium digital sudah berkembang pesat, atau justru telah menjadi teknologi komunikasi yang utama.

“Bukan pada level berpendidikan rendah yang menjadi sasaran literasi, tapi mereka yang tidak terbiasa menuggunakan medium digital, yakni digital immigrants,” kata Firman kepada CNNIndonesia.com, Minggu (27/8).

Firman mencontohkan, perkataan para ‘imigran digital’ kerap dianggap sebagai panutan dan sedikit banyak mampu menggiring opini publik.

Ketika kelompok imigran digital menuliskan atau membagikan sebuah hoax, ujar Firman, besar kemungkinan hal itu ditangkap oleh murid, mahasiswa, atau orang yang mengaguminya. “Itu akan lebih tersebar cepat,” kata Firman.

Apalagi, kata Firman kebanyakan, kelompok imigran digital yang usianya senior berpendidikan tinggi sehingga hoax yang disebarkan akan mudah tersebar luas seperti virus.

Untuk mencegah hoax, kata Firman, diperlukan kebijakan dan pemahaman etika dari masing-masing individu untuk tidak menyebarkan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya.

“Sayangnya, seringkali pemahaman etika memang berbanding lurus dengan pendidikan. Semakin tinggi pendidikannya, orang semakin lebih berhati-hati,” ujarnya.(mb/cnn indonesia)

Pos terkait