SBY Sebut Ada 100 Juta Orang Miskin di Era Jokowi, Ini Kata Kemenkeu

Metrobatam, Jakarta – Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan ada sekitar 100 juta orang yang masuk dalam kategori miskin di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). SBY menyebut, angka itu diperoleh dari data Bank Dunia.

Terkait hal itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti di laman Facebook-nya membeberkan tiga hal. Pertama perhitungan tersebut dianggap tidak benar.

Sebab Frans menilai dalam perhitungan poverty line atau garis kemiskinan yang dilakukan Bank Dunia tidak menggunakan kurs yang digunakan sehari-hari. Namun menggunakan nilai tukar yang memperhatikan paritas daya beli sebesar Rp 5.639.

“Perhitungan yang dilakukan adalah tidak benar. Untuk perhitungan poverty line, Bank Dunia tidak menggunakan nilai tukar kurs dolar sebagaimana yang dipakai dalam kurs sehari-hari. Dalam penghitungan tersebut disampaikan bahwa kursnya Rp 13.300, sedangkan Bank Dunia dalam penghitungannya menggunakan nilai tukar sebesar Rp 5.639 untuk tahun 2018 ini. Nilai tukar ini berbeda karena memperhatikan Purchasing Power Parity (PPP),” jelasnya dikutip detikFinance, Rabu (1/8).

Bacaan Lainnya

Kemudian, ia juga menjelaskan perhitungan angka kemiskinan bila menggunakan skema saat ini bisa didapat angka kemiskinan sebesar 4,6% dan orang di bawah garis kemiskinan sekitar 12,15 juta jiwa. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan 9,82% atau sekitar 25,96 juta jiwa.

Sehingga, angka tersebut tentu lebih kecil dari yang disebut oleh SBY sebanyak 100 juta orang miskin.

“Untuk Indonesia garis kemiskinan 1,9 dolar PPP untuk tahun 2018 setara dengan 321.432 rupiah per kapita per bulan dan ini berarti 1,9 PPP angka kemiskinan untuk Indonesia adalah 4,6% dan jumlah orang yang di bawah garis kemiskinan adalah sekitar 12,15 juta jiwa. Sedangkan angka kemiskinan nasional Indonesia yang baru dikeluarkan BPS menunjukkan angka 9,82% dengan jumlah orang miskin sebesar 25,95 juta jiwa,” paparnya.

Terakhir, ia memaparkan latar belakang Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan berdasarkan PPP dan garis kemiskinan nasional di masing-masing negara. Hal itu dilakukan untuk memonitor kemampuan suatu negara menanggulangi kemiskinan esktrem dan untuk melihat profil dari permasalahan kemiskinan.

“Garis kemiskinan PPP digunakan untuk memonitor sampai sejauh mana dunia secara keseluruhan pada jalur yang tepat (on track) dalam menanggulangi kemiskinan ekstrem. Sedangkan dalam melihat permasalahan kemiskinan, profil dan apa yang diperlukan dalam mempercepat pengentasan kemiskinan di suatu negara, Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan yang digunakan otoritas statistik negara tersebut,” papar dia.

Selain itu, Frans memastikan laporan Bank Dunia mengenai angka kemiskinan di Indonesia selalu mengacu pada data dari BPS.

“Laporan Bank Dunia tentang kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia seperti ‘Making Indonesia Work for the Poor’ (2006) maupun Indonesia Rising Divide (2015) sepenuhnya menggunakan garis kemiskinan BPS,” tutup dia. (mb/detik)

Pos terkait