Sejarawan: Soeharto Kepala Negara Terkorup di Dunia

Metrobatam, Jakarta – Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menyampaikan bahwa Presiden ke-2 RI, Soeharto, masuk dalam daftar 10 kepala negara paling korup di dunia.

Jenderal bintang lima itu menempati urutan pertama sebagai kepala negara yang mengambil uang rakyat.

“Kita ingat PBB waktu itu, Sekjen-nya Ban Ki-moon salah satunya pernah menyebutkan ada sepuluh pemimpin negara di dunia ini yan korup, nomor satu ya, mohon maaf Soeharto,” kata Bonnie dalam diskusi ‘Jangan Lupakan Korupsi Soeharto’, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Kamis (6/12).

Kepala negara lainnya di bawah Soeharto, yang tercatat sebagai paling korup, yaitu mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, Presiden Nigeria Sani Abacha, Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic.

Bacaan Lainnya

Kemudian Presiden Haiti Jean Claude Duvailer, Presiden Peru Alberto Fujimori, Presiden Ukraina Pavio Lazarenko, Presiden Nikaragua Arnold Alemen, dan Presiden Filipina Joseph Estrada.

Bonnie mengatakan bahwa pihaknya bukan bermaksud membicarakan Soeharto sebagai seorang pribadi. Menurutnya, selama ini masyarakat salah kaprah ketika membicarakan Soeharto dianggap menyerang secara pribadi pemimpin Orde Baru itu.

“Tidak, dia itu institusi, dia itu kepala negara, dia itu presiden dari sebuah masa (yang menjabat) 30 tahun lebih,” ujarnya.

Bonnie menyebut pemerintahan Soeharto tidak hanya menimbulkan korupsi di bidang ekonomi, tetapi juga korupsi di bidang politik. Salah satu bentuk korupsi politik yang dilakukan Soeharto adalah merenggut kebebasan.

Menurut dia, korupsi di era Soeharto diperparah dengan tak adanya kebebasan untuk bersuara, termasuk kebebasan pers. Bila ada media yang berani menulis kasus korupsi yang melibatkan orang dekat sang jenderal, media itu bakal dibredel.

“Pers tidak punya kebebasan untuk memberitakan soal-soal korupsi tadi. Artinya udah klop, pers tidak bisa memberitakan secara bebas, korupsinya ada,” ujarnya.

Berantas Setengah Hati

Di sisi lain, kata Bonnie, Soeharto juga dinilai tak serius melakukan pemberantasan korupsi di zamannya. Meskipun saat itu sejumlah lembaga antikorupsi dibentuk Soeharto untuk memerangi praktik lancung penyelenggara negara.

Bonnie menyebut saat Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksaa Agung Sugih Arto dibentuk pada 1967, lembaga tersebut banyak menangani kasus korupsi, sekitar 144 kasus. Salah satu kasus yang paling besar adalah korupsi di tubuh Pertamina.

Namun, korupsi di Pertamina itu tak sampai menyentuh pimpinannya ketika itu. Menurut Bonnie, kondisi tersebut membuat reaksi di masyarakat. Dia menyatakan pemberantasan korupsi yang selektif, diskriminatif turut mengundang protes mahasiswa.

“Ini menimbulkan reaksi kenapa kok yang besar itu enggak diselidiki,” ujarnya.

Lantas, kata Bonnie, Soeharto kembali membentuk Komisi Anti Korupsi pada 1970. Masih di tahun yang sama, Komisi Empat dibentuk. Komisi itu dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Wilopo dan salah satu penasihatnya wakil presiden pertama Mohammad Hatta alias Bung Hatta.

Menurut Bonnie, ketika itu Komisi Empat telah bekerja maksimal dan memberikan sejumlah rekomendasi kepada Soeharto. Namun, rekomendasi itu tak dijalankan. Kritik pun datang langsung dari Bung Hatta.

“Oleh karena itu Bung Hatta bilang, ini akan selesai kalau misalkan Presiden Soeharto turun tangan sendiri, ikut menyelesaikan. Dengan kata lain kalau kita tafsirkan berarti dia (Soeharto) enggak mau turun tangan,” kata Bonnie.

Dari situ, lanjut Bonnie, protes terhadap Soeharto terus berdatangan. Salah satunya protes tersebut muncul saat mahasiswa ITB berkumpul yang jumlahnya mencapai 3000 orang.

Kritik utama yang disampaikan mahasiswa kepada rezim Soeharto ketika itu adalah pemerintahan yang dinilai tak bersih, penuh dengan prilaku koruptif, dan kroniisme yang mulai menjalar.

“Pada masa ini lah perilaku koruptif semakin, meruyak, semakin membesar. Tahun 1978, Bung Hatta bilang kritik lagi, kata Bung Hatta ini korupsi sudah menjadi budaya kita. Bayangkan sudah menjadi budaya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Bonnie mengajak masyarakat untuk melihat sejarah pemberantasan korupsi sebagai sebuah pelajaran. Menurutnya, untuk memperbaiki kondisi tersebut masyarakat harus terus berjalan sambil melihat masa lalu pemerintah memberantas korupsi.

“Kita kan enggak mau mewariskan dendam pada generasi yang berikutnya, tidak mau mewariskan masalah,” kata dia.

Tema Korupsi Orba Dinilai Tendensius

Direktur Populi Center Usep S Ahyar menilai usulan tentang isu korupsi orde baru masuk dalam debat capres dan cawapres di pilpres 2019 terlalu tendensius.

Isu itu sebelumnya diusulkan oleh Partai Solidaritas Indonesia yang menanggapi pernyataan capres Prabowo Subianto, yang menyebut korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium empat.

“Kalau menurut saya tidak spesifik soal korupsi orba, karena itu kan sudah tendensius,” ujar Usep di kantor Populi Center, Jakarta, Kamis (6/12).

Alih-alih spesifik membicarakan korupsi di masa orba, menurutnya, pembahasan korupsi harus dibahas secara keseluruhan. Bahkan isu itu mestinya menjadi agenda dan diskusi utama oleh pemerintah ke depan.

Apalagi kasus korupsi oleh kepala daerah, kata dia, belakangan jumlahnya semakin meningkat. Dari data KPK, ada 56 kepala daerah yang terjaring tangkap tangan selama 13 tahun terakhir.

“Kalau dulu zaman orba itu, korupsi tersentral. Tapi sekarang setelah beberapa kali ganti pemerintahan, korupsi juga masih banyak,” ucapnya.

Sekjen PSI Raja Juli Antoni sebelumnya mengusulkan KPU agar materi tentang korupsi di era orba dimasukkan dalam debat kandidat pilpres 2019.

Menurutnya, berdebat secara formal tentang itu lebih mendidik daripada sibuk menampik Soeharto bukan simbol korupsi, kolusi, dan nepotisme.

KPU telah menyatakan bakal mempertimbangkan semua usulan yang masuk terkait konten debat kandidat. Termasuk juga usulan materi tentang korupsi di era orba. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait