‘Simalakama’ dalam Politik Nonblok Demokrat di Pilkada DKI

Metrobatam, Jakarta – Agus Harimurti Yudhoyono telah resmi dinyatakan kalah dan tak akan bersaing di putaran kedua pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI 2017. Fakta ini menjadi pukulan telak bagi Partai Demokrat.

Dua pasangan calon gubernur yang menjadi rival Agus-Sylviana Murni kini berebut suara sang mantan mayor. Berbagai cara dilakukan untuk menggaet para pendukung Agus-Sylvi.

Meski Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga kini masih abu-abu, namun Demokrat jelas: nonblok.

Dengan sikap nonblok, Demokrat membebaskan kadernya memilih pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat atau Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Namun dewan pimpinan cabang dan organisasi sayap partai tidak boleh secara resmi mendeklarasikan dukungan kepada salah satu calon.

Bacaan Lainnya

Meski belum mendeklarasikan secara resmi dukungan kepada salah satu calon, PAN, PKB, serta PPP sebagai mantan anggota poros Cikeas dipastikan tidak ikut-ikutan memilih nonblok.

Direktur Ekesekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, tiga partai tersebut punya kepentingan masing-masing yang ingin terpenuhi pascakekalahan Agus-Silvy.

“Tidak ada yang namanya kesetiaan dalam partai. Yang ada hanya persekongkolan dalam rangka ketika mereka bersatu saat kepentingan mereka sama,” kata Pangi ketika dihubungi CNNIndonesia.com.

Politik nonblok Demokrat bukanlah gaya baru. Pada Pemilihan Presiden 2014, Demokrat satu-satunya partai yang tak mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kala.

Hal yang sama dipraktikkan di DPR. Beberapa kali Fraksi Demokrat memilih sikap netral. “Memang dari dulu Demokrat adalah partai yang pertama, dalam tanda petik saya bilang, agak aneh. Tepatnya tidak jelas,” ucapnya.

Menurut Pangi, sikap nonblok tak berbeda dengan mencari titik aman partai. Terutama sejak Demokrat tersandera berbagai isu tak sedap, seperti tudingan Antasari Azhar ke arah Susilo Bambang Yudhoyono.

Bagi Pangi, memilih Ahok atau Anies ibarat makan buah simalakama. SBY dan Demokrat tidak ingin jatuh dalam perangkap yang membawa mereka semakin terpuruk.

“Itu yang membuat dia mencari titik aman. Kalau Anies kalah repot. Kalau dia dia dukung Ahok dan kalah, repot. Jadi lebih cara aman aja,” katanya.

Pengamat politik Universitas Negara Jakarta Ubedilah Badrun mengatakan, sikap netral Demokrat merupakan bentuk unjuk diri kubu Cikeas. SBY dan Demokrat ingin menyatakan kepada publik bahwa kubu Cikeas adalah kekuatan politik tersendiri yang tidak sama dengan kubu Teuku Umar (Megawati Soekarnoputri dan PDIP) maupun kubu Hambalang (Prabowo dan Gerindra).

Ubedilah mengatakan, posisi netral menunjukkan gaya politik Demokrat yang ingin selalu mencari simpati publik. Namun Ubedilah mengingatkan, sikap netral tanpa posisi yang jelas membuat Demokrat akan ditinggal pemilihnya.

“Ia selalu ingin dicitrakan baik di hadapan publik,” kata Ubedilah.

Pengamat politik Universitas Padjajaran Idil Akbar menilai, sikap nonblok Demokrat sebenarnya merupakan ‘misi senyap’ SBY. Agus dan pesta politik Jakarta disebut hanya uji coba.

SBY menghindari polemik dan diam-diam membanguan kekuatan baru. Target terdekat adalah Pilkada Jawa Barat 2018 untuk mencapai Pilpres 2019 sebagai target terjauh.

“Dengan mengamankan diri untuk 2019, ada fokus untuk menjalankan agenda politik. Konsolidasi di seluruh Indonesia khususnya Jawa Barat 2018,” kata Idil.(mb/cnn indonesia)

Pos terkait