Sistem Zonasi Sekolah Berujung Protes di Berbagai Daerah

Metrobatam, Jakarta – Penerapan sistem zonasi sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih berbuntut masalah di berbagai daerah. Sejumlah orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau menemukan ketidakwajaran sistem PPDB dalam jaringan.

Salah seorang warga, An, di Tanjungpinang, Selasa (11/7), menyoroti ketidakwajaran ketika sejumlah siswa yang nilainya rendah bisa masuk ke SMAN 1 yang menjadi salah satu sekolah favorit di sana.

“Mereka itu saling mengenal sehingga mengetahui persis nilai pada ijazah masing-masing siswa. Jadi anak-anak yang memiliki nilai tinggi tidak bisa diterima, sedangkan rekannya memiliki nilai rendah bisa masuk SMAN 1 Tanjungpinang,” kata dia seperti dikutip Antara.

An memastikan nilai di SMP yang diperoleh anaknya jauh lebih tinggi dari sejumlah anak dari SMP yang sama, yang berhasil masuk ke SMAN 1 Tanjungpinang. Sy, putri dari An kini hanya bisa menangis.

Bacaan Lainnya

Sy tidak ingin sekolah meski diterima di SMAN lainnya. “Sejak kemarin sampai sekarang menangis saja. Saya pun ikut menangis karena dia akhirnya sakit dan tidak mau sekolah,” ujarnya.

Kekesalan para orang tua siswa juga disampaikan kepada petugas di Posko pengawas penerimaan siswa baru SMA. Namun, petugas tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya menerima laporan dan mendengar kekesalan para orang tua.

“Ada juga pejabat di pemerintahan yang marah-marah karena anaknya berprestasi tetapi tidak berhasil masuk SMAN 1,” katanya.

Kejadian di Tanjung Pinang tersebut merupakan rangkaian keluhan yang dialami orang tua siswa di berbagai daerah.

Di Tangerang, Banten, kisruh sistem zonasi berlangsung layaknya film-film Hollywood. Ratusan warga Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang merangsek ke dalam Gedung SMP 23 Pinang, lantas menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman.

Mereka yang menyandera adalah para orang tua yang kecewa anaknya tak diterima di sekolah tersebut. Mereka kesal lantaran Abduh tak bisa membantu meloloskan anak-anak mereka.

Selain menyandera kepala dinas, ratusan orang tua siswa juga menyegel gedung sekolah. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat berbuat banyak.

Di Manado, Sulawesi Selatan, para orang tua siswa berebut mendaftarkan anaknya di SMP Negeri 1 Manado yang memang menjadi salah satu sekolah primadona.

Para orang tua berebut masuk ke dalam sekolah untuk mendapatkan nomor antrean.

SMP Negeri 1 sendiri hanya bisa menerima 384 siswa baru. Dari jumlah itu, sekolah hanya diperbolehkan menyisihkan 10 persen kuota untuk calon siswa di luar zonasi.

Di Bandung, sekitar 100 orang tua dan calon siswa menggelar demonstrasi di kantor Gubernur Jabar, Gedung Sate. Ratusan orang tua dan calon siswa yang kompak mengenakan pita merah itu, menuntut kejelasan sistem PPDB 2018.

Buntut Permendikbud 14/2018

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 dianggap sebagai muara kegaduhan tersebut. Sistem zonasi ini mulanya diterapkan sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.

Puluhan ribu pendaftar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Tengah menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu alias sebenarnya orang mampu demi diterima di sekolah favorit. Sementara sejumlah sekolah di Solo malah kekurangan murid karena berlokasi jauh dari permukiman penduduk.

Kasus lain, kisruh PPDB jalur mandiri di Lampung dinilai tidak memiliki payung hukum.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Permendikbud 14/2018 memiliki banyak kelemahan, sehingga menuai banyak masalah. Padahal peraturan yang diteken Menteri Muhadjir Effendy pada 2 Mei 2018 itu bertujuan untuk pemerataan pendidikan dan meminimalisasi mobilitas siswa ke sekolah tertentu.

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan pengertian di sejumlah pasal Permendikbud 14/2018 itu cukup bias.

“Kami rapat dengan teman-teman di daerah dan menerima laporan bahwa PPDB tahun ini makin gaduh,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/7).

Masalah pertama, Heru menyoroti kelemahan Permendikbud 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB.

Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 berbunyi, “Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM.”

Sementara pada Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, dijelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat.

Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.

Mulai dari pasal satu sampai enam Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM.

Dari pemahaman pasal di atas, kata Heru, masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berlandaskan payung hukum.

“Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda. Di dalam PPDB ini ada jalur (menggunakan) SKTM, ini (pemerintah) daerah menggunakan aturan yang mana?” kata Heru.

Pertanyakan Tujuan Sistem Zonasi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mempertanyakan keberhasilan tercapainya tujuan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebelumnya mengatakan salah satu tujuan sistem zonasi adalah mendekatkan siswa dengan sekolah. Harapannya, siswa tak perlu lagi mengeluarkan ongkos transportasi lebih untuk menuju ke sekolahnya masing-masing.

Di sisi lain, menurut Komisoner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti, ketentuan ketimpangan jumlah sekolah di suatu zonasi mengakibatkan banyak anak kehilangan haknya untuk dapat bersekolah di sekolah negeri.

“Yang merancang aturan zonasi seperti ini mungkin menganggap setiap satu kilometer ada SMP negeri, jadi siswa tetap sekolah dekat rumahnya,” kata Retno saat konferensi pers di kantornya, Rabu (11/7).

Di wilayah yang tidak ada sekolah negeri terdekat, anak otomatis akan kehilangan hak bersekolah di sekolah negeri.

Retno mencontohkan sejumlah laporan yang diterima KPAI. Salah satunya dari orang tua yang mengeluh karena tinggal di rumah yang jauh dari pinggiran kota dan tidak ada SMP negeri dekat situ.

Anak orang tua itu akhirnya gagal lulus PPDB dan ‘terpaksa’ mendaftar ke sekolah swasta. Namun, sekolah swasta pun lokasinya jauh dari rumah.

“Maka, akhirnya tujuan zonasi agar siswa sekolah dekat rumah tidak tercapai kalau akhirnya anak itu gagal,” kata Retno.

Kasus lain terjadi di Desa Bojongkulur, Kabupaten Bogor sebagai desa berpenduduk terpadat sekabupaten Bogor tetapi tidak ada SMP dan SMA negeri di desa itu.

“Akibatnya anak-anak di desa Bojongkulur harus mendaftar di sekolah desa tetangga yang kuotanya hanya lima persen,” kata Retno. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait