Tebang Kayu di Tanah Ulayat, 2 Masyarakat Adat Malah Dipenjara

Metrobatam, Padang – Ernita dan Aslinda tak bisa menahan isak tangisnya saat menyambangi Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang di Jalan Pekanbaru, Ulak Karang Padang, Sumatera Barat. Keduanya datang untuk melaporkan nasib suaminya yang ditahan oleh Polres Agam sejak 27 September lalu.

Agusri Masnefi dan Erdi Datuak Samiak warga Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam ditangkap tim Polres Agam dan Polisi Kehutanan dengan tuduhan penebangan kayu di kawasan hutan konservasi cagar alam. Kedunya terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Menurut Aslinda, istri Agusri Masnefi, lokasi penebangan kayu adalah tanah ulayat milik suku Tanjuang, titik penebangan berada pada hamparan datar dekat sawah-sawah dan peladangan masyarakat yang selama ini telah mereka kelola secara turun temurun.

Agusri Masnefi memiliki 5 anak. Bersama istri, mertua, dua menantu dan 4 orang cucu yang masih balita, mereka tinggal dalam sebuah rumah sederhana berlantai tanah dan sebagiannya berdindingkan terpal. “Ada 14 orang yang tinggal serumah,” katanya, Senin (21/11/2017).

Bacaan Lainnya

Untuk menghidupi keluarga, Agusri awalnya menjual sate dengan berkeliling danau Maninjau dan sebelumnya Agusri bersama istrinya Aslinda menjual rakik rinuak (keripik kas ikan danau maninjau).

“Dulu kami menjual rakik rinuak dan palai rinuak, namun setelah rinuak tak bisa lagi diperoleh dari danau Manjinjau, suami saya terpaksa harus mencari sumber penghasilan lain dengan berjualan sate berkeliling di danau Maninjau,” ujarnya.

Karena umur terus berlanjut tenaga sudah berkurang Agusri Masnepi dan keluarga berniat membangun kedai di pinggir Danau Maninjau. Untuk membuat usaha tersebut da menjual dan menggadaikan sepeda motornya untuk menyewa tanah kedai, membeli bahan dan modal kedai.

“Namun uang hasil penjualan motor tidak mencukupi untuk membeli seluruh papan dan kayu yang dibutuhkan. Kemudian saya meminta izin kepada Ninik Mamak (tokoh adat) untuk menebang kayu di ulayat suku,” tutur Aslinda.

Sementara Ninik Mamak suku Tanjuang, Asrul Datuak Majo Sati, mengatakan lokasi penebangan yang dilakukan adalah tanah ulayat mereka.

“Istri Agusri Masnepi adalah kemenakan saya, dan dia datang meminta izin untuk menebang kayu, saya mengizinkan asal prosesur adat dijalankan. Ini adalah kewajiban mamak kepada kemenakan, apalagi saya tau betul kondisi ekonominya sangat sulit,” terangnya.

Setelah mendapat restu dari Ninik Mamak, Agusri juga meminta izin kepada pemerintah jorong (dusun) dan nagari (desa), mereka mendapatkan izin tersebut namun sesuai dengan adat hanya dua batang kayu boleh ditebang dan kembali menanam kayu sebagai pengganti yang sudah ditebang.

“Itu kearifan lokal kami yang berlangsung lama di masyarakat adat nagari koto malintang,” ucapnya.

Berbekal surat izin ini Agusri Masnepi meminta tolong kepada bantuan Erdi Datuak Samiak untuk menebang dua pohon kayu bayur. Namun kemudian Erdi Datuak Samiak yang sedang menebang kayu ditangkap oleh Tim Gabungan Polisi Kehutanan dan Polres Agam.

Saat penangkapan dilakukan, Erdi Datuak Samiak memperlihatkan surat yang dimiliki, namun tidak dihiraukan oleh penegak hukum. Ia langsung dibawa ke Kepolisian Resor Agam pada 27 September 2017.

Agusri Masnepi yang merasa bertanggungjawab mencoba mendatangi Polres Agam untuk meminta penjelasan, namun sejak itu ia tidak lagi pulang kerumah, ia langsung ditahan hingga sekarang karena dianggap melanggar Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

Sedangkan Sabri Kali Kayo, ninik mamak suku Sikumbang mengatakan kalau dikatakan siapa yang paling berhak menjaga hutan. “Kami jauh lebih berhak karena jika ada bencana galodo kami yang terkena dampak. Karena itu pula masyarakat adat nagari Koto Malintang kami memiliki aturan-aturan sendiri dalam pemanfataan kayu,” terangnya.

Sabri menambahkan jika dipakai logika negara bahwa titik penebangan adalah kawasan hutan cagar alam, masyarakat adat yang menebang kayu di hutan tidak dapat dipidana sepanjang tidak ditujukan untuk tujuan-tujuan komersil.

LBH Padang melihat lemahnya pemahaman dan perspektif penegak hukum terhadap masyarakat hukum adat. Hukum HAM internasional maupun konstitusi jelas dan tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Penangkapan masyarakat adat di tanah ulayatnya sendiri dalam kasus Masnepi jelas merupakan pelanggaran konstitusi terkait hak-hak masyarakat adat.

“Justru klaim negara yang harus dikoreksi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Tahun 2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 secara tegas telah mengatakan hutan adat adalah hutan hak, dan kawasan hutan tidak cukup hanya ditunjuk tetapi harus dilakukan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan,” kata Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari.

Sejauh ini belum ada penataan batas dan penetapan kawasan yang prosesnya dilakukan secara partisipatif, apalagi masyarakat adat sudah Nagari Koto Malintang sudah memiliki kearifan lokal dalam memastikan keberlanjutan SDA. “LBH Padang menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap korban dan masyarakat adat nagari Koto Malintang pada khususnya dan masyarakat adat nagari manapun di Sumatera Barat. Kasus ini dalam pandangan LBH adalah simbol bahwa marginalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung,” teranya.

Kata Era, kasus ini berimplikasi secara serius pula terhadap hak-hak pendidikan anak. Anak perempuan Agusri Masnepi saat ini terpaksa harus putus sekolah sejak ayahnya di tahan. Tidak cukup ongkos untuk bolak balik sekolah, sementara dia sudah duduk di kelas 3 dan sebentar lagi harus ikut ujian. “LBH Padang berharap Bupati, dinas-dinas terkait terutama dinas pendidikan, dinas sosial baik provinsi maupun kabupaten melakukan respon konkrit untuk menyelamatkan hak-hak pendidikan anak korban,” ujarnya. (mb/okezone)

Pos terkait